LDII Jawa Timur Gelar Seminar Generasi Milenial





Surabaya – Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) jawa timur yang merupakan organisasi dakwah kemasyarakatan, menggelar Seminar Nasional Pancasila dengan tema: “Pembudayaan Pancasila Pada Era Generasi Milenial”. Acara ini akan digelar pada Sabtu, 21 April 2018 di Aula Pondok Pesantren Sabilurrosyidin, Jalan Gayungan VII No 11 Surabaya.
Indonesia pada 2030 bakal memperoleh bonus demografi. Di mana generasi yang lahir pada 1980 hingga 2000, mencapai usia produktif pada tahun itu. Jumlah mereka mencapai 70 persen dari seluruh penduduk Indonesia, yang artinya mampu mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto secara signifikan. Generasi ini berciri akrab dengan gadget, memaksimalkan internet, hingga sosial media.
“Keakraban mereka dengan internet dan sosial media, menjadikan generasi milenial sebagai warga dunia tanpa batasan ideologi dan teritorial. Tanpa bimbingan mereka bisa memaknai budaya Barat merupakan sesuatu modern, lalu muncul anggapan nilai-nilai bangsa menjadi sesuatu yang konservatif atau kuno,” ujar Ketua DPW LDII Jawa Timur, Amien Adhy.
Lalu muncul kekhawatiran, mengenai kian menjauhnya generasi milenial dari nilai-nilai Pancasila yang selama 73 tahun menjadi perekat bangsa. LDII memandang nilai-nilai Pancasila mampu menyatukan bangsa Indonesia yang terdiri dari 1.340 suku bangsa (BPS, 2010), berbagai agama, dan ras, “Para pendiri bangsa ini membuat Pancasila yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa dari Sabang hingga Merauke, inilah yang menjadi perekat bangsa Indonesia,” ucap Amien.
Saat ini proporsi generasi milenial mencapai 34,45 persen dari seluruh populasi penduduk Indonesia. Mereka memiliki keunikan dibanding Generasi X atau Baby Boomers, karena generasi ini sangat kental dengan budaya pop/musik dan teknologi, mereka juga tak bisa dipisahkan dari internet maupun hiburan. Bahkan riset Boston Consulting Group(BCG) bekerja sama dengan University of Barkeley pada 2011, generasi milenial memiliki karakteristik: percaya teknologi, menjaga citra, multitasking (serba bisa), terbuka pada perubahan, percaya diri, memiliki tujuan tim, kaya informasi, tidak sabaran, dan mudah beradaptasi.
Menurut Amien, bila generasi milenial menjadikan panutan ideologi impor yang belum tentu cocok dengan budaya bangsa, dan kemudian mengabaikan Pancasila, maka bangsa dan negara ini sedang menghadapi potensi ancaman dan kerusakan yang serius. Pertandanya, sudah tampak, imbuh Amien. Ia mencontohkan liberalisme membuat beberapa generasi muda tak menghargai orangtua ataupun menghargai orang lain, sehingga muncul sikap individual yang jauh dari nilai-nilai kegotongroyongan.
Pergaulan bebas yang merupakan bentuk dari kebebasan HAM dan liberalisme Barat telah membudaya di kota-kota besar, tentu ini mendatangkan masalah sosial dan psikologis, “Pergaulan bebas itu merupakan cerminan rapuhnya nilai-nilai keluarga. Ini memiliki beberapa dampak, misalnya maraknya penggunaan narkoba ataupun bertumbuhnya LGBT di kalangan generasi muda,” imbuh Amien.
Sementara menanamkan Pancasila kepada generasi milenial bukanlah perkara mudah. Menurut Amien, doktrinasi semisal penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) ataupun seminar-seminar, sulit untuk menjangkau generasi milenial, “Generasi milenial menjadikan popularitas seseorang di media sosial sebagai panutan, selain itu budaya baca mereka kebanyakan berkurang,” imbuh Amien.
Menurut Moeldoko, Menyiapkan diri tidak cukup dengan kemampuan, skill atau keahlian (Sains), tetapi harus juga menyiapkan karakter karena ini yang utama yang harus disiapkan, maka dari itu melalui penataran-penataran atau seminar panacasila seperti ini, karakter tersebut bisa disampaikan.
“Saya punya keyakinan penuh, bahwa anak-anak yang tinggal dilingkungan asrama, pesantren atau masjid sudah mendapatkan ilmu karakter yang baik dari para senior atau gurunya. (dik)

Komentar